SUKABUMI KOTA –Ir (16) sedang menyelesaikan sarapan pagi di rumah Aita Bharkawat, atau yang biasa dipanggil Ibu Iboy, Sabtu (7/1/2012). Dia melahap makanan itu tidak terburu-buru. Berbeda saat ia berada di mes sebuah tempat hiburan malam di kota Sorong, Papua Barat, lima hari sebelumnya.
Bersama empat kawan sebayanya yang lain, Ir ditampung sementara oleh Aita, tokoh masyarakat Kampung Cimahi, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi. Kelima remaja itu adalah Ir, Wi (18), De (16), Ye (16), dan Mu (16). Mereka baru saja melaporkan praktik perdagangan manusia yang menimpa mereka ke Polres Sukabumi Kota.
Saat ditemui, beragam kisah pilu meluncur dari mulut keempat remaja belia itu. Wi tidak ada karena sedang pulang ke rumah orangtuanya.
Cerita dimulai ketika kakak Wi berinisial St (21) mengenalkan adik dan keempat temannya itu kepada Ss, yang sampai kini masih buron. St dan kelima remaja itu tinggal satu kampung. Sedangkan Ss warga Kecamatan Caringin, yang tidak jauh lokasinya dari tempat tinggal mereka.
Ir adalah rombongan kedua yang berangkat ke Sorong. Remaja tamatan SMP itu berangkat bersama Wi, St, dan Si. Sekitar sepekan sebelumnya, De, Ye, dan Mu berangkat bertiga saja, menempuh perjalanan terjauh selama hidup mereka.
De menuturkan, selama perjalanan menuju Bandara Soekarno Hatta, mereka bertiga membayangkan bakal bekerja sebagai pramusaji di kafe di Kalimantan, tanpa tahu kota mana yang mereka tuju.
“Setelah sampai di bandara, baru diberi tiket oleh bapak-bapak berseragam, dengan tujuan Sorong,” kata De yang tidak tahu pasti apakah itu seragam petugas bandara atau maskapai Merpati, pesawat yang mereka tumpangi.
Awal dari kisah itu, kata De, bermula saat dia bermalam di rumah salah satu temannya. Di sana dia bertemu dengan Ye yang mengajak mampir ke rumah St, yang sudah kenal dengan Ss. “Kami dipertemukan dengan Ss, dan ditawari pekerjaan di kafe di Kalimantan. Katanya gajinya Rp 3 juta per bulan,” ucap De.
Setibanya di Sorong, tiga remaja itu dijemput oleh seseorang yang mereka panggil Mmami. Mereka diajak makan di restoran, dan di sana baru diberitahu bahwa mereka akan bekerja di tempat hiburan, dengan kontrak awal empat bulan. Kepalang basah, dan tidak punya ongkos untuk pulang, mereka menyanggupi saja.
Mes lantai lima
Dari situlah penderitaan bermula. Tempat hiburan malam itu terletak di gedung berlantai lima, yang masing-masing lantai untuk arena bermain bilyar, karaoke, panti pijat, dan bar. Mes tempat mereka tinggal ada di lantai lima.
Selain hari libur, mereka tidak diperkenankan ke luar dari lantai lima itu. “Ada 27 perempuan sebaya kami yang tinggal di mes itu. Kami bekerja menemani tamu main bilyar, berkaraoke, jadi pemijat, dan penari di bar,” kata Ir.
Gaji Rp 3 juta yang dijanjikan pun tinggal janji. Sebab, mereka harus membeli seragam dan kosmetik yang biayanya dipotong dari gaji. Hanya tips dari tamu yang boleh mereka simpan. Tak jarang, mereka juga disuruh oleh Mami menemani tamu menginap. Bahkan, kegadisan dua dari lima remaja asal Sukabumi itu ditukar dengan telepon genggam Blackberry serta uang tunai Rp 2 juta.
Titik cerah dari kisah ini mulai terlihat saat salah seorang tamu De bersimpati dengan penderitaan mereka. Tamu ini memberi tiket pesawat Sorong-Jakarta via Makassar.
De pun akhirnya bisa kabur, dan menceritakan kisahnya kepada Iboy setibanya di Sukabumi. “Saya lalu berkordinasi dengan organisasi di Sorong untuk bisamemulangkan teman-teman De,” kata Iboy.
Pengacara korban, Dedi Patius, mengatakan, unsur perdagangan manusia, sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Manusia, tercermin dalam upaya perekrutan remaja di bawah umur yang diikuti dengan penyekapan untuk dieksploitasi. Selain itu, kasus ini juga melanggar UU Nomor 23 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak, karena empat remaja itu masih berusia di bawah 17 tahun. Red”