SUKABUMIZONE.COM,SUKABUMI– Ada jembatan hidup di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Jawa Barat.
Jembatan hidup itu bernama Koridor Halimun Salak (KHS), kawasan seluas 4.206,18 hektare yang menghubungkan hutan di Gunung Halimun dan Gunung Salak.
“Koridor ini diharapkan menjadi penghubung keberagaman hayati di hutan Gunung Salak dan Gunung Halimun agar menjadi satu kesatuan,” kata Kepala Balai TNGHS Agus Priambudi di kantornya yang ada di Kecamatan Kabandungan, Sukabumi, Jawa Barat.
Bentang alam yang secara administratif masuk wilayah Kabupaten Sukabumi dan Bogor itu juga menjadi daerah tangkapan air bagi wilayah sekitarnya yaitu Jakarta, Bogor dan Lebak. Ada 117 sungai dan anak sungai yang mengalir di kawasan taman nasional tersebut.
“Sejumlah perusahaan air mineral besar mengambil air dari sumber-sumber mata air yang ada di kawasan taman nasional,” ungkap Agus.
KHS juga menjadi rumah bagi 11 jenis mamalia dan 53 jenis burung. Lutung, surili, kucing hutan, musang, luwak, jelarang, elang ular dan puyuh gonggong ada di sana. Tiga hewan yang dilindungi yaitu Owa Jawa (Hylobates moloch), Elang Jawa (Spizaetus bartelsii) dan Macan tutul Jawa (Panthera pardus melas), pun bisa ditemui.
“Koridor ini memiliki peran untuk menjaga keragaman hayati antara Gunung Halimun dan Salak yaitu sebagai jembatan untuk membantu perkawinan hewan sehingga mereka tidak kawin satu keturunan dan melahirkan hewan yang cacat,” jelas Agus.
Menurut penelitian, pada 2008 di TNGHS setidaknya terdapat sekitar 280 jenis flora yang terdiri atas 197 marga dan 80 suku seperti kihujan, jambu-jambuan, puspa, kimerak, paku siuer, paku tiang, awi sengkol dan rasamala.
Namun penelitian itu juga menunjukkan bahwa pohon berdiameter lebih dari 50 sentimeter sudah jarang ditemui, indikasi kerusakan hutan sudah relatif tinggi.
Degradasi
Agus menjelaskan, berdasarkan analisis citra satelit pada 2004-2008 degradasi hutan telah terjadi di lahan seluas 22 ribu hektare dari keseluruhan wilayah TNGHS.
Menurut dia, hal itu terjadi karena TNGHS tadinya adalah kawasan hutan produksi, hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani. Kawasan itu baru menjadi taman nasional pada 2003 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/2003 pada 10 Juni 2003.
Surat keputusan itu menambah luas wilayah taman nasional dari 40.000 hektare menjadi 113.357 hektare. Sementara luas koridor mencapai 4.206,18 hektare namun tutupan hutan primernya hanya 6,38 persen dan hutan sekunder sebesar 18,05 persen.
Komposisi terbanyak malah semak belukar (35,29 persen), perkebunan teh (12,24 persen) dan pertanian lahan kering (12,18 persen).
Perluasan kawasan taman nasional itu membawa konsekuensi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar TNGHS, sebagian tempat tinggal mereka masuk dalam wilayah taman nasional sehingga mereka tak lagi bisa mengambil hasil dari hutan produksi untuk memperoleh pendapatan.
Terdapat dua desa yang berbatasan langsung atau berada di Koridor Halimun Salak yakni Desa Purasari dan Karyabakti di Kabupaten Bogor. Selain itu ada tiga desa yang masuk wilayah Kabupaten Sukabumi yaitu Desa Cipeuteuy, Cihamerang dan Kabandungan.
“Saya tadinya juga bekerja untuk hutan milik Perhutani namun sejak perluasan pada 2003 masyarakat tidak boleh lagi mengambil hasil hutan,” kata warga Desa Cipeuteuy, Dayat Hidayat.
Restorasi
Agus mengatakan pemerintah tidak tinggal diam melihat kerusakan yang terjadi di kawasan taman nasional. Pemerintah, katanya, sudah berupaya menghijaukan kembali hutan di kawasan TNGHS.
Ia menjelaskan, sejak tahun 2004 sudah ada 3.000 hektare hutan yang telah direstorasi menggunakan dana pemerintah.
“Tapi memang perlu usaha yang lama agar dapat pulih menjadi hutan primer,” kata Agus.
Selain itu pemerintah juga menerapkan Model Kampung Konservasi (MKK), kesepahaman antara Balai TNGHS dengan warga sekitar untuk dapat memanfaatkan lahan yang sudah terlanjur menjadi lahan garapan.
“Terdapat 24 kampung yang berada di dekat hutan yang diikutsertakan dalam program ini, warga dapat memanfaatkan lahan garapan untuk menanam padi huma atau palawija tapi juga wajib menanam tanaman asli seperti puspa, rasamala atau hulu secara bertahap,” kata Agus.
Upaya lain yang melibatkan masyarakat luas adalah program adopsi pohon dimana bapak atau ibu asuh pohon dapat menitipkan dana Rp70 ribu per pohon kepada masyarakat lokal untuk restorasi TNGHS dalam jangka waktu adopsi selama lima tahun.
Dana tersebut dibagi-bagi untuk kegiatan penanaman, penguatan kelembagaan kelompok masyarakat, pemetaan dan lainnya.
“Sudah banyak perusahaan yang ikut serta dalam program ini,” kata Agus tanpa merinci jumlah hutan yang sudah ditanami.
Tapi usaha paling efektif untuk menghijaukan kawasan TNGHS tetap berada di tangan masyarakat sekitar.
Satu kelompok masyarakat yang tergerak untuk menghijaukan kawasan tersebut adalah kelompok Jaringan Masyarakat Hutan Koridor (Jamaskor) yang diketuai oleh Dayat.
“Saya berpegang pada pepatah Sunda yaitu Leungna hejo masyarakatna bisa ngejo, artinya hutan lestari masyarakat sejahtera,” kata Dayat. Ia ingin masyarakat punya cadangan sumber daya di hutan koridor sehingga dapat sejahtera dengan tetap menjaga hutan.
“Awalnya tidak mudah memotivasi masyarakat untuk ikut menanam pohon asli hutan koridor seperti rasamala, puspa, huru, manglid atau saninten karena sudah terbiasa mengambil hasil dari hutan Perhutani, tapi lama-kelamaan mereka mau,” kata Dayat.
Masyarakat yang dimaksud berasal enam kampung yaitu kampung Cisarua, Cipeuteuy, Babakan, Sukagalih, Leuwi Waluh dan Garehong yang penduduknya sekitar 2.500 jiwa.
“Memang tidak semuanya merawat hutan karena ada juga yang akhirnya merantau keluar kampung seperti dengan menjadi penambang emas di daerah Pongkor yang juga masuk dalam wilayah taman nasional,” jelas Dayat.
Kesulitan yang dihadapi dalam upaya restorasi itu, menurut Dayat, adalah banyaknya semak di kawasan hutan. Karena berstatus taman nasional masyarakat tidak boleh membersihkan semak sehingga Dayat dan kelompoknya harus rajin menyiangi bibit pohon hingga usia tiga tahun agar tidak mati dilahap gulma.
Beberapa perusahaan mendukung Jamaskor melakukan restorasi, termasuk diantaranya PT Chevron Geothermal Salak, Ltd (CGS), yang membuat program Green Coridor Initiative (GCI) di KHS sejak 2010.
Project Manager GCI Dali Sadli Mulia mengatakan, perusahaannya berkomitmen membantu restorasi KHS sekaligus melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar.
“Kami sesungguhnya sudah ikut dalam program menjaga ekosistem di Gunung Salak sejak 2002, namun baru pada 2010 kami meluncurkan GCI untuk merestorasi sekitar 500 hektar lahan di koridor dengan komitmen dana sebesar satu juta dolar AS selama lima tahun,” kata Dali.
Selain digunakan untuk penanaman hingga 500 ribu pohon, dana itu juga dimanfaatkan untuk memberikan pelatihan pertanian organik, kebun rakyat dan pengelolaan mikro bagi masyarakat sekitar koridor dengan target perputaran uang hingga Rp2 miliar per tahun.
Chevron berkepentingan dalam penghijauan koridor itu karena memiliki pembangkit listrik panas bumi (PLTP) berkekuatan 377 megawatt di Gunung Salak karena agar tenaga panas bumi terjaga, hutan di sekitar harus tetap hijau.
sumber: Ant