SUKABUMIZONE.COM,SUKABUMI- Maraknya praktek penyalahgunaan profesi wartawan sebagaimana diberitakan salah satu media lokal di Sukabumi pada, Rabu (23/1) berjudul “Pengusaha Keluhkan Oknum Wartawan ” menyita perhatian Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Perwakilan Kabupaten Sukabumi.
Ketua PWI Kabupaten Sukabumi, Heddi Suhaedi dalam rilisnya menjelaskan, berita tersebut merupakan gambaran kasus praktek penyalahgunaan profesi wartawan yang tidak dipungkiri banyak terjadi di Kabupaten dan Kota Sukabumi. Hal itu, praktis menodai dan sekaligus merusak citra profesi wartawan. “Sebab itu, PWI Perwakilan Kabupaten Sukabumi mengajak masyarakat, pejabat publik dan aparat penegak hukum untuk bahu-membahu mengatasi praktek penyalahgunaan profesi wartawan,”jelas Heddi.
Menurutnya, masyarakat tidak perlu segan-segan, apalagi takut melaporkan setiap tindakan oknum wartawan dan wartawan gadungan yang mengabaikan kode etik jurnalistik dan melakukan tindak pidana seperti mengintimidasi dan pemerasan.” Kami bersedia memfasilitasi upaya-upaya hukum masyarakat yang menjadi korban praktek penyalahgunaan profesi wartawan,”ujarnya.
Wartawan salah satu media cetak nasional ini mengungkapkan, sesuai dengan ketentuan Surat Pernyataan Dewan Pers No. 12/PDP/X/2001 Tentang Mengatasi Praktek penyalahgunaan profesi Wartawan yakni pertama, wartawan dalam menjalankan pekerjaan jurnalistiknya selalu berdasarkan pada prinsip-prinsip etika. Wartawan Indonesia telah memiliki Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang menjadi acuan bagi seluruh wartawan di Indonesia. Kedua, wartawan tidak boleh menggunakan cara-cara pemaksaan dan intimidasi, serta tidak meminta imbalan dalam mencari informasi. Dalam hal peliputan konferensi pers, penyelenggara berhak menentukan wartawan dan media apa saja yang diundang, sebagaimana wartawan dan media yang diundang juga berhak untuk datang atau tidak datang memenuhi undangan tersebut.
Ketiga, ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No.40/1999 tentang Pers, pasal yang menjamin kemerdekaan pers serta hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi, harus diimplementasikan sesuai dengan prinsip kode etik.
“Ketentuan Pasal 18, yang mengatur ancaman pidana penjara dan denda bagi pihak yang menghalangi pelaksanaan kemerdekaan pers (Pasal 4), tidak dapat diterjemahkan secara subyektif. Pasal 18 ini dapat diterapkan untuk informasi yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas dan hak publik untuk tahu,”terangnya.
Lanjutnya ke empat, jika ada pihak yang tidak mengundang wartawan atau media tertentu dalam suatu konferensi pers, itu tidak dapat dianggap “menghalangi kemerdekaan pers” Jika wartawan atau pers tidak diundang dalam suatu konferensi pers, maka yang bersangkutan dapat menggunakan upaya lain untuk memperoleh informasi yang diperlukan, dengan tetap berpedoman pada prinsip etika.
Kelima, adanya perusahaan atau instansi yang mengeluarkan daftar wartawan/media yang boleh meliput di lingkungannya, sejauh hal itu dimaksudkan untuk identifikasi administratif, masih dapat ditolerir. Dikeluarkannya daftar wartawan/media oleh sejumlah kantor perusahaan dan instansi pemerintah tersebut bisa dipahami sebagai reaksi yang wajar atas maraknya praktek penyalahgunaan profesi wartawan. Meskipun demikian, perusahaan swasta atau instansi pemerintah wajib menerima dan melayani dengan sewajarnya wartawan yang tidak tercantum dalam daftar itu, jika wartawan bersangkutan memang jelas identitas, media, dan maksud liputannya. Wartawan/media yang tidak tercantum dalam daftar semacam itu, padahal berhak meliput, wajib melakukan klarifikasi kepada pihak yang mengeluarkannya.
Ke enam, Dewan Pers mengimbau agar komunitas wartawan dan pers bahu-membahu bersama masyarakat untuk memerangi praktek penyalahgunaan profesi wartawan dengan melaporkan aktivitas-aktivitas tidak proporsional yang mengatasnamakan sebagai wartawan-kepada kepolisian.
Ke tujuh, kepada anggota masyarakat, perusahaan swasta, dan instansi pemerintah diharapkan agar cermat dalam mengidentifikasi wartawan/media serta tidak segan-segan menanyakan identitas wartawan dan mencek kebenaran status media tempatnya bekerja. Wartawan yang sungguh-sungguh profesional selalu menggunakan cara-cara yang etis dalam mencari informasi.
Heddi menegaskan, masyarakat tidak perlu memberikan imbalan (dikenal sebagai “uang amplop”) kepada wartawan yang mewawancarai atau meliput. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dengan jelas menyatakan wartawan Indonesia selalu menjaga kehormatan profesi dengan tidak menerima imbalan dalam bentuk apa pun dari sumber berita, yang berkaitan dengan tugas-tugas kewartawanannya dan tidak menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan tidak memberikan “amplop” (dalam konferensi pers atau seusai wawancara), berarti masyarakat turut membantu upaya menegakkan etika wartawan serta berperan dalam memberantas praktek penyalahgunaan profesi wartawan.
“Atas dasar tersebut, PWI Perwakilan Kabupaten Sukabumi telah menjalin kerja sama dengan aparat kepolisian untuk menindak tegas secara hukum setiap oknum wartawan dan wartawan gadungan yang melanggar kode etik jurnalistik dan melakukan tindak pidana intimidasi, pemerasan dan pemalsuan identitas wartawan dan pemalsuan Kartu Tanda Anggota / Kartu Pers PWI,”pungkasnya.
SBR: RDR