SUKABUMIZONE.COM, SUKABAUMI– Penyakit infeksi (baik re-emerging maupun new emerging) saat ini masih tinggi di Indonesia termasuk diantaranya Tuberkulosis/TB. Diindikasikan, hal tersebut akibat adanya pengaruh Epidemic, apalagi pada kasus tersebut ada beberapa resiko yang bakal terjadi pada penderita jika tidak memenuhi standar pengobatan atau menurut bahas medis lebih dikenal Turbekulosis Paru-MDR (Multi Drug Resisten) yang berarti TB kebal obat. Pemerintah dipicu bekerja keras berupaya menanggulangi secara maksimal untuk mencegah terjadinya penularan.
Di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat misalnya, ada beberapa pasien paru-MDR yang kini tengah ditangani pemerintah provinsi salah satunya pasien yang berasal dari Kecamatan Gunungguruh. Menurut informasi, di kabupaten ini ada tiga penderita yang telah positif sebagai pasien paru-MDR. Namun, akibat faktor angka kasus yang masih sedikit MDR masih ditangani pemerintah provinsi sehingga pasien tersebut harus rela berobat secara rutin setiap bulannya ke RS Hasan Sadikin Bandung. “Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi belum melakukan pengobatan terhadap pasien paru yang bersetatus kebal obat. Ya, karena angka kasus masih sedikit serta harga obatnya yang mahal,” kata Petugas Penanggulangan Penyakit Menular Gunungguruh Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi Eri Kustiawan kepada wartawan www.sukabumizone.com beberapa waktu lalu.
Menurutnya, ada beberapa upaya yang dilakukan petugas kesehatan meliputi standarisasi pelayanan pasien TBC Paru MDR, termasuk tatalaksana diagnosis, pengobatan serta penjaringan suspek (tersangka) TBC Paru MDR sehingga pasien penderita dapat terdeteksi sedini mungkin sehingga kasus tidak luas. “Namun, ada yang masih mejadi hambatan bagi para petugas dalam melakukan upaya pencegahan dan pengobatan pasien positif yang harus dihantar sampai provinsi. Yakni, ketersediaan anggaran di tingkat daerah sehingga tidak dapat mencukupi seluruh proses yang semestinya harus ditempuh secara maksimal,” tutur Eri.
Lebih lanjut ia menjelaskan, meski demikian petugas berupaya melakukan tugas sebagai mana mestinya tanpa melihat kekurangan yang ada. “Kami harap permasalahan yang bertumpu pada biaya pencegahaan dengan berbagai eksen yang dilakukan petugas seperti sosialisasi dapat diperhatikan secara serius oleh pemerintah daerah maupun provinsi. Tentunya agar kinerja kami lebih optimal,”pungkasnya. Sep/Den
SUKABUMIZONE.COM, SUKABAUMI– Penyakit infeksi (baik re-emerging maupun new emerging) saat ini masih tinggi di Indonesia termasuk diantaranya Tuberkulosis/TB. Diindikasikan, hal tersebut akibat adanya pengaruh Epidemic, apalagi pada kasus tersebut ada beberapa resiko yang bakal terjadi pada penderita jika tidak memenuhi standar pengobatan atau menurut bahas medis lebih dikenal Turbekulosis Paru-MDR (Multi Drug Resisten) yang berarti TB kebal obat. Pemerintah dipicu bekerja keras berupaya menanggulangi secara maksimal untuk mencegah terjadinya penularan.
Di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat misalnya, ada beberapa pasien paru-MDR yang kini tengah ditangani pemerintah provinsi salah satunya pasien yang berasal dari Kecamatan Gunungguruh. Menurut informasi, di kabupaten ini ada tiga penderita yang telah positif sebagai pasien paru-MDR. Namun, akibat faktor angka kasus yang masih sedikit MDR masih ditangani pemerintah provinsi sehingga pasien tersebut harus rela berobat secara rutin setiap bulannya ke RS Hasan Sadikin Bandung. “Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi belum melakukan pengobatan terhadap pasien paru yang bersetatus kebal obat. Ya, karena angka kasus masih sedikit serta harga obatnya yang mahal,” kata Petugas Penanggulangan Penyakit Menular Gunungguruh Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi Eri Kustiawan kepada wartawan www.sukabumizone.com beberapa waktu lalu.
Menurutnya, ada beberapa upaya yang dilakukan petugas kesehatan meliputi standarisasi pelayanan pasien TBC Paru MDR, termasuk tatalaksana diagnosis, pengobatan serta penjaringan suspek (tersangka) TBC Paru MDR sehingga pasien penderita dapat terdeteksi sedini mungkin sehingga kasus tidak luas. “Namun, ada yang masih mejadi hambatan bagi para petugas dalam melakukan upaya pencegahan dan pengobatan pasien positif yang harus dihantar sampai provinsi. Yakni, ketersediaan anggaran di tingkat daerah sehingga tidak dapat mencukupi seluruh proses yang semestinya harus ditempuh secara maksimal,” tutur Eri.
Lebih lanjut ia menjelaskan, meski demikian petugas berupaya melakukan tugas sebagai mana mestinya tanpa melihat kekurangan yang ada. “Kami harap permasalahan yang bertumpu pada biaya pencegahaan dengan berbagai eksen yang dilakukan petugas seperti sosialisasi dapat diperhatikan secara serius oleh pemerintah daerah maupun provinsi. Tentunya agar kinerja kami lebih optimal,”pungkasnya. Sep/Den