
SUKABUMI, sukabumizone.com || Di balik gemuruh pembangunan dan geliat kemajuan Kabupaten Sukabumi, masih ada kisah pilu yang mengoyak nurani. Sebuah potret kemiskinan ekstrem tersaji nyata di Kampung Babakan Astana, Desa Loji, Kecamatan Simpenan. Di sana, seorang perempuan muda bernama Etin (25 tahun) bersama ibunya, Ibah (45 tahun) terpaksa tinggal di kandang domba—tempat yang lebih layak disebut sebagai tempat ternak daripada hunian manusia.
Tempat tinggal mereka bukan rumah dalam pengertian umum. Bukan pula bangunan darurat yang dibangun dengan rapi. Yang ada hanyalah struktur rapuh dari papan bekas, bambu reyot, dan atap genteng yang nyaris ambruk, ditopang seadanya oleh kayu lapuk Saat hujan turun, air dengan mudah merembes masuk. Saat panas menyengat, tak ada penghalang berarti. Di dalamnya, bau menyengat dari kotoran domba menyatu dengan lembap tanah basah, menciptakan suasana yang jauh dari kata layak.
Tidak ada kasur empuk. Tidak ada kamar mandi. Tidak ada dapur untuk memasak. Hanya ruang sempit yang seharusnya dihuni oleh hewan ternak, kini menjadi tempat bernaung dua jiwa yang terpinggirkan oleh kerasnya kehidupan.
Cerita memilukan ini mencuat setelah sejumlah anak-anak di lingkungan sekitar merasa iba dan melaporkan kondisi Etin kepada relawan sosial, Agus Sugianto.
“Anak-anak menelepon saya, bilang katanya ada warga yang tidur di kandang kambing. Saya kira bercanda. Tapi setelah saya datang pagi-pagi ke lokasi, ternyata benar. Saya sendiri menyaksikan mereka tidur di situ. Saya langsung gemetar,” ujar Agus, dengan suara berat menahan haru.
Rumah utama yang seharusnya menjadi tempat berlindung bagi keluarga tersebut, menurutnya, sudah tidak bisa lagi disebut rumah. Atapnya bocor parah, dindingnya nyaris roboh, dan tak memiliki fasilitas dasar seperti air bersih maupun sanitasi.
Kabar ini tidak butuh waktu lama untuk sampai ke telinga Bupati Sukabumi, Asep Japar. Ia langsung memerintahkan Camat Palabuhanratu, Deni Yudhono, untuk turun langsung ke lokasi dan melihat kondisi Etin dan ibunya secara nyata.
“Saya diperintahkan Pak Bupati untuk meninjau rumah warga di Desa Loji. Setelah saya lihat langsung, memang tidak layak huni dan harus segera diusulkan bantuan,” ujar Deni di sela kunjungannya pada 25 Agustus 2025.
Lebih dari itu, Deni melakukan panggilan video langsung kepada Bupati Asep Japar dari lokasi. Dalam percakapan itu, Bupati menegaskan komitmennya untuk segera mengirimkan bantuan material bangunan. “Insya Allah akan segera mendapat penanganan lebih lanjut,” ucapnya.
Meski kini Etin dan ibunya masih bertahan hidup di tempat yang tak sepantasnya dihuni manusia, namun secercah harapan mulai tumbuh. Pemerintah menjanjikan bantuan, dan relawan-relawan lokal tak tinggal diam. Agus Sugianto menyampaikan harapannya agar rumah kakak Etin dan rumah ibunya bisa dibangun kembali dengan layak.
“Saya sudah ajukan. Ini bukan soal bantuan sekadarnya, tapi soal kemanusiaan. Kalau kita biarkan satu orang pun tidur di kandang hewan, di mana hati nurani kita sebagai masyarakat?” tutur Agus lirih.
Kisah Etin dan Ibah bukan hanya milik mereka berdua. Ini adalah cermin buram dari realitas sosial yang harus kita hadapi bersama. Bahwa di tengah semarak pembangunan dan jargon kesejahteraan, masih ada warga Sukabumi yang tinggal di kandang domba untuk sekadar bisa berteduh dari hujan dan panas.
Kini, bantuan mulai berdatangan. Namun lebih dari itu, mereka membutuhkan kepastian hidup yang manusiawi—tempat tinggal yang aman, air bersih, dan kepedulian yang tidak datang hanya saat viral.
Di Kampung Babakan Astana, suara tangis mungkin tak terdengar keras. Tapi luka yang mereka rasakan seharusnya cukup nyaring untuk menggugah hati kita semua.
Reporter: Ginanjar
Redaktur: Ruslan AG