Di lokasi yang sama, Kuasa Hukum Ahli Waris almarhum Natadipura, Saleh Hidayat, menjelaskan bahwa dalam gugatan yang diajukan pihaknya, tanah-tanah peninggalan Almarhum (Alm) Natadipura dimohonkan kepada Majelis Hakim untuk diakui dan dinyatakan sah sebagai milik kliennya, yang secara hukum telah beralih kepada para ahli waris.
Dalam gugatan ini kami mengajukan alas hak Letter C Nomor 84, 89, 16, serta Verponding Nomor 1745, dengan total luas sekitar 630 hektare. Hak waris tersebut telah diperkuat dengan Penetapan Ahli Waris Pengadilan Agama Cibadak Nomor 561 Tahun 2021,” ujar Saleh usai sidang lapangan.
Ia menuturkan, pemeriksaan setempat dilakukan untuk memastikan secara faktual keberadaan tanah yang diklaim, termasuk luas dan batas-batasnya.
“Majelis Hakim ingin memastikan apakah tanah itu benar ada, luasnya berapa, serta bagaimana batas-batasnya. Fakta lapangan ini akan menjadi bahan pertimbangan penting bagi Majelis dalam menilai kebenaran gugatan kami,” jelasnya.
Sebelum sidang lapangan digelar, lanjut Saleh, rangkaian persidangan telah memasuki tahap pembuktian, di mana pihak penggugat mengajukan sekitar 25 alat bukti kepada Majelis Hakim.
Dalam peninjauan lapangan, Saleh mengaku menemukan fakta yang cukup mengejutkan. “Ketika Majelis Hakim turun langsung ke lapangan, ada dua titik yang kami lihat, dan ternyata secara faktual luas tanah milik almarhum Natadipura bisa mencapai sekitar 2.000 hektare. Namun yang disurvei hari ini hanya sebagian kecil dari keseluruhan lahan tersebut,” ungkapnya.
Ia juga memaparkan bukti tambahan berupa putusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tahun 1978 terkait daftar tanah negara bekas hak barat peninggalan masa Hindia Belanda. “Dalam daftar Tanah Negara yang diterbitkan Mendagri itu, khususnya di Kabupaten Sukabumi, tidak tercantum nama Natadipura. Ini menunjukkan bahwa almarhum Natadipura bukan pemilik hak barat atau orang asing, melainkan warga pribumi,” tegas Saleh.
Menurutnya, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, kepemilikan tanah warga pribumi dibuktikan dengan Letter C atau Girik, yang menunjukkan bahwa tanah tersebut merupakan tanah adat, bukan tanah negara.
“Oleh karena itu, secara hukum Hak Guna Usaha (HGU) tidak boleh terbit di atas tanah milik adat, karena HGU hanya dapat diterbitkan di atas tanah negara,” tambahnya.
Dalam sidang lapangan tersebut, pihaknya juga menunjukkan plang HGU yang terpasang di lokasi. Namun berdasarkan bukti yang dimiliki, plang tersebut mencantumkan HGU Nomor 86, yang menurut Saleh, objeknya justru berada di wilayah Goalpara, bukan pada tanah yang menjadi objek sengketa saat ini.
Adapun objek yang disurvei Majelis Hakim meliputi, C84 seluas 49 hektare, C89 seluas 477 hektare, C16 seluas 25 hektare serta Verponding Nomor 1745.
“Total luas tanah yang kami ajukan secara resmi melalui gugatan pengadilan adalah sekitar 630 hektare,” tegasnya.
Lebih lanjut, Saleh menekankan bahwa gugatan yang diajukan bukan semata-mata mengenai kepemilikan tanah, melainkan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan, yakni Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
“Alas hak berupa Letter C sudah jelas ada. Ketika Letter C ini akan dikonversi menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM), kami sudah mendaftarkannya ke BPN pada tahun 2024. Berkas sudah kami kirim, namun ada kekurangan yang diminta BPN, yakni SPPT dan BPHTB,” paparnya.
Gugatan ini, kata Saleh, diajukan untuk memenuhi persyaratan administrasi tersebut, sekaligus sebagai langkah antisipatif terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021.
“Dalam PP tersebut, khususnya Pasal 96, ditegaskan bahwa tanah dengan alas hak Letter C atau Girik yang tidak didaftarkan paling lambat 2 Februari 2026 berpotensi diambil alih oleh negara. Gugatan ini merupakan upaya hukum agar klien kami tidak terdampak ketentuan tersebut,” jelasnya.
Menghadapi sidang lanjutan, Saleh menyebut pihaknya telah menyiapkan saksi ahli, termasuk para kepala desa dari empat desa yang wilayahnya berkaitan langsung dengan objek sengketa.
Redaktur : Rusalan AG





